undercover.co.id – Model Bisnis Startup Monetisasi dan Scale-up Sejalan, Mengejar pertumbuhan dianggap menjadi rumus baku dalam dunia startup. Terlalu fokus melakukan akuisisi pasar dan meminggirkan strategi meraih pendapatan
Tren mendirikan perusahaan rintisan (startup) berbasis teknologi terus bergulir. Banyak cerita dan kisah kesuksesan startup dan para pendirinya yang menginspirasi dan menjadi daya tarik orang untuk ikut
membuat startup.
Di sisi lain, negara ini memang merupakan lahan subur bagi tumbuhnya startup di berbagai sektor.
Antusiasme merintis startup ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki jumlah startup terbanyak di dunia
Menurut data Startup Ranking, Indonesia masuk sepuluh besar negara dengan jumlah startup terbanyak di dunia Hingga 14 Juni 2022, mengacu pada data Startup Ranking
Indonesia berada di posisi keenam dengan Jumlah startup di angka 2.380.
Pada April 2022, Indonesia masih menempati pos kelima dengan 2.346 startup. Namun, Australia yang pada April berada di pos ketujuh, dengan jumlah startup 2.276, berhasi
memyslip dua negara sekaligus, Indonesia dan Jerman.
Sehingga pada 14 Juni 2022, Australs berada di posisi kalima dengan jumlah startup mencapai 2.384.
Posisi pertama hingga keempat negar dengan startup terbanyak tidak ada perubahan Secara berturut-turut tetap disi oleh Amerika Serikat dengan 72.306 startup, India 13.736 startup, Britania Raya (United Kingdom) 6.306 startup, dan Kanada 3.433 startup.
Seperti sudah tersebut sebelumny Indonesia merupakan negara yang memiki potensi untuk lahir dan berkembangnya startup. Sebab, ada berbagai solusi yang bisa dihadirkan oleh startup berbasis teknologi di berbagai sektor.
Namun begitu, bukan berarti membangun dan membesarkan startup adalah pekerjaan mudah.
Inti dari sebuah startup adalah melakukan suatu transformasi secara cepat, menghadirkan big improvement, dan kemampuan scale up. Semua hal itu tidak mudah dilakukan karena membutuhkan strategi yang tepat
dan perhitungan waktu yang matang. Lebih utama lagi, butuh great people, yakni founder dan timnya,” kata Jefri R. Sirat, Ketua Asosiasi Modal Ventura dan Startup Indonesia (Amvesindol
Faktor orang atau people inilah yang menurut Jefri paling krusial dalam keberlangsungan startup. Sebab, setelah sebuah startup masuk ke growth stage, para founder dan co-founder yang pada umumnya masih sangat muda harus bisa berpikir layaknya pemimpin C-level di perusahaan yang cukup besar. Dengan kata lain, kapasitas dan kapabilitas founder dan timnya harus selalu meningkat sering perkembangan bisnis startup-nya.
“Kalau startup gagal di tahapan pre-seed seed, atau di awal early stage itu wajar karena masih di area the valley of death yang mana bisa jadi produk belum matang dan faktor lain Tapi, jika di growth stage bisa gagal berarti ada mismanagement dari founder dan co-founder yang umumnya para C-level” kata Jefri yang Juga Co-Founder & Managing Partner Gayo Capital
Tidak bisa disangkal juga, lanjutnya, ada peran investor atau venture capital (VC) dalam kegagalan tersebut. Alasannya, investor hanya terpaku melihat pada ide bisnis dan growth strategy yang ditawarkan, tanpa menimbang perkembangan kapasitas founder dalam mengelola operasional bisnis startup
“Sehingga pada suatu tak tertentu, bisa jadi seorang founder harus turun dari posisi C-level Tetap menjadi founder, tapi tidak berkecimpung lagi di operasional” jelasnya.
Berpacu di Landasan
Kata “growth” ini pula yang seringkali menjadi mantra bagi startup. Seperti sudah tersebut sebelumnya, bada technology startup dan usaha rintisan konvensional adalah pada kemampuan dalam melakukan scale up yang eksponensial. Dengan bantuan teknologi, dalam tempo singkat startup bisa akuisisi konsumen dalam jumlah besar atau melakukan land grabbing dengan cepat.
Mengapa harus dalam jumlah besar dan dengan cepat? Sebab, untuk mengejar economies of scale. Hanya dengan mencapa skala ekonomi tertentu, maka startup bisa menghasilkan keuntungan.
Selanjutnya, hal yang jamak terjadi atau dilakukan oleh para startup dalam mengejar skala ekonomi tersebut adalah menggelontorkan uang sedemikian besar. Terutama, untuk mengejar pertumbuhan konsumen atau user
Inilah yang kemudian lazim kita dengar dengan burrata atau bakar uang.
Burn rate adalah penghitungan biaya yang harus dikeluarkan oleh startup pada periode tertentu, baik sebelum dan sesudah menghasilkan pendapatan Komponen dalam bum rate terbesar pada umumnya adalah biaya akusisi konsumen.
Biasanya, dengan memberikan subsidi pada komponen biaya-biaya dan harga yang seharusnys ditanggung konsumen, sebagai contoh, memberikan promosi gratis ongkos kirim, potongan harga yang sangat besar, dan lainnya.
Di sisi lain, dalam upaya mengejar pertumbuhan ini juga memerlukan dukungan sumber daya manusia yang besar.
Sehingga para startup merekrut pegawa dalam jumlah banyak. Berbagai langkah dan strategi dalam. mengejar pertumbuhan ini pada akhirnya melahirkan jargon growth at all cost di dunia startup.
Katika fokus mengejar pertumbuhan karena berpacu dengan startup lain di sektor yang sama seringkali tidak memerhatikan zero cash data atau sudah di ujung runway.
Runway adalah jumlah waktu yang dipunyai startup sebelum kehabisan uang. Panjang runway in ditentukan oleh penghitungan bum rate. Ketidakmampuan mengelola bum
dan runway ini yang seringkali membuat startup harus melakukan langkah drastis, seperti efisiensi dengan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Namun, bila telah melakukan efisiensi tetap tidak b memperpanjang runway, di sisi lain putaran pendanaan berikutnya masih jauh, kondisi terburuk yang terjadi adalah gulung skar
Menurut riset Cinsights bertajuk The Top 12 Reasons Startups Falls 2021, kehabisan kas atau dana segar merupakan penyebab tertinggi dalam kegagalan sebuah startup. Penyebab berikutnya produk atau solusi dari startup tidak dibutuhkan pasar. Selanjutnya, kalah dalam persaingan dengan startup yang ada di sektor yang sama.
Bila ditarik lebih jauh, dalam tiga faktor teratas kegagalan startup tersebut ada and cukup besar dari founder dan co-founder yang mengelola operasional Sebut saja, kegagalan mengelola keuangan, kurang memahami pasar, dan ketidakmampuan bersaing bila dirunut akan berujung pada kurangnya kapabilitas para pengelola startup di tiga ares tersebut.
Aldi Adrian Hartarto. Partner at Arise/VP of Invesment at MDI Ventures mangatakan startup itu tidak memiliki aset produktif yang bisa dibukukan, seperti mesin, pabrik, dan lainnya. Asat startup adalah produk teknologi. Jadi, investasi startup itu pada sisi orang, baik untuk pengembangan produk teknologi, tim akuts konsumen, dan lainnya.
“Startup itu investasi ka orang yang mana tu masuk operational expenditure (Ope), jadi kesannya memiliki profit & lost (P&L) negatif. Padahal itu merupakan upaya melakukan scale up untuk mencapai profitability,” kata Aldi.
Untuk mencapai titik untung tersebut, lanjutnya, tergantung pada model bisnis. Ada model bisnis yang harus scale up besar- besaran, seperti pada jenis busines-to- consumer (B2C), untuk mendominasi pasa memperoleh pemasukan dan mendapat keuntungan.
Tapi, ada pula modal bisnis yang dan awal sudah bisa meraih pendapatan Namun, yang memang tidak bisa dihindar adalah untuk grow harus membeli growth. Artinya, startup investasi besar-besaran di awal dan setelah mencapai titik tertentu biss menghasilkan keuntungan yang berlipat “Secara jangka panjang cara ini lebih efisien dibanding model pertumbuhan pada bisnis konvensional Namun, growth at all cost adalah bentuk penyikapan yang kurang tepat.
baca juga
Seharusnya, sudut pandangnya adalah profitable stau sustainable growth,” jelasnya. Meski begitu, Aldi mengaku tidak semus startup bisa mencapai kondisi ideal tersebut.
Dalam arti, melakukan scale up dan mencapai skala ekonomi yang memungkinkan untuk meraup untung besar.
Tapi bila dari awal joumey dan eksekusi sudah benar serta ada di benis yang tepat, kemampuan untuk tumbuh sangat besar dengan cost yang lebih kecil dibanding perusahaan konvensional. Namun, perlu diperhatikan pula bahwa melakukan monetisat tidak selalu setelah melakukan scale up besar-besaran dan mencapai economies of scale.
Sebisa mungkin, sejak awal startup sudah menerapkan skema monetisasi, walaupun startup tersebut ada di kategori bisnis B2C. Memang, pada umumnya hanya startup yang masuk ke model business- to-business (8280), seperti startup yang menawarkan software as a service (SaaS), yang bisa melakukan monetisal dari awal
Salah satu startup yang memiliki model benis tepat di segmen B2C adalah WarungPintar
Dengan kata lain, telah memiliki product market fit dari sejak awal, yakni memberikan solusi untuk berbagai kebutuhan para pemilik warung Startup ini juga telah melakukan monetisasi sejak beroperasi
“Sejak dulu kami sudah melakukan
monetisasi. Sehingga selama setahun terakhir kami terus berupaya untuk menyeimbangkan antara revenue dan cost. Sebab, kami merasa sudah memiliki scale untuk agar probitable” kata Agung Bezharie Hadinegoro, Co-founder dan CEO Warung Pintar
la menambahkan, saat ini Warung Pintar sudah fokus bagaimana memberi nilai tambah pada model bisnis untuk memperbanyak revenue stream. Tidak lagi harrys fokus pada meningkatkan pertumbuhan Pada ujungnya, mau membangun startup atau membuka warung, tetap harus untung,” katanya.
Meski begitu, Agung mengatakan tidak ada hukum benar-salah apakah sebuah startup melakukan monetisasi dari awal atau setelah mencapai titik skala tertentu. Penentuan kapan melakukan monetisasi adalah sebuah kabkan dari organisasi startup tersebut.
Sebagai contoh, Google dan Facebook, yang dalam beberapa tahun pertama tidak melakukan
monetisasi atau memberi free services Dua raksasa teknologi ini benar-benar menghabiskan uang investor untuk akus pengguna di tahun-tahun awal berdiri. Namun, setelah mereka menghadirkan layanan advertising bisa menghasilkan profit luar biasa besar karena punya pengguna yang sangat banyak.
“Banyak jalan menuju Roma Melakukan monetisasi merupakan bagian dari dinamika bisnis. Bukan karena founder jago atau investormys hebat, tapi itu adalah wisdom dari organisasi startup itu,” terangnya
Inti dari sebuah startup adalah melakukan suatu transformasi secara cepat, menghadirkan big improvement, dan kemampuan scale up. Semua itu membutuhkan strategi yang tepat dan
perhitungan waktu yang matang. Lebih utama lagi, butuh great people, yakni founder dan timnya.